Menjadi teknologi pembangun pembelajar bangsa
hingga menjadi pembentuk karakter bangsa, merupakan bukan hal yang mudah maka
dari itu GO Edu sebuah blog yang berorientasi pada pembelajar bangsa terus
menjadikan yang terbaik bagi para pengguna. Yang menjadi pembeda antara yang
lain GO Edu merupakan sebuah wadah bagi para pembalajar, kenapa saya katakana
pembelajar karena ruang lingkup dalam suatu blog ini merupakan bukan hanya untuk
siswa ataupun mereka yang sedang duduk dalam suatu pendidikan formal. Kami
disini membuka kesempatan bagi para pembelajar seluas luasnya, siapapun itu.
Karena kami yakin minat menjadi pembelajar bukan hanya sekedar dimiliki oleh
semangat para pemuda saja namun juga seorang yang telah dikatakan sudah berumur
saya yakin masih memiliki niat untuk belajar. Saya mengatakan hal ini karena
banyak sekali saya temukan hal tersebut juga seperti artikel sebelumnya yang
sudah saya katakana bahwa menutut ilmu merupakan sebuah kewajiban bagi seorang
muslim maupun muslimah dari buaian ibu sampai liang lahat. GO Edu merupakan
fasilitas untuk itu, pembangun pembelajar, pembentuk karakter bahkan pemberi
optimisme untuk pembelajar
“Tanah
Air kita meminta korban. Dari di sinilah kita siap sedia memberi korban yang
sesuci-sucinya. Sungguh, korban dengan ragamu sendiri ialah korban yang paling
ringan. Memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi,
percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi. Kapan hujan turun
dan udara menjadi bersih karenanya?”
(Ki
Hadjar Dewantara).
KUTIPAN
dari Ki Hadjar Dewantara di atas merupakan pertanda selalu ada optimisme dalam
mengelola pendidikan. Meskipun tantangan dan rintangan tidak mudah untuk
dihindari, dunia pendidikan harus terus meniupkan napas optimismenya karena
menyangkut masa depan bangsa. Cara yang paling mungkin dan mudah untuk
dilakukan ialah kemauan untuk selalu belajar dari kesalahan, melihat data-data
statistik persoalan-persoalan pendidikan kita secara cermat, dan melakukan
usaha perbaikan berdasarkan data-data tersebut.
Laporan
OECD tentang pendidikan selama 2015, misalnya, dapat menjadi acuan kita untuk
melakukan perubahan. Laporan tersebut setidaknya mengindikasikan masih
banyaknya negara yang kerepotan dalam menangani pembiayaan pendidikan karena
terjadinya perlambatan ekonomi. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan
angka-angka statistik yang berkaitan dengan angka kelulusan sekolah menengah
yang terserap dunia kerja, kaitan antara pendidikan dengan mobilitas sosial, GO
Edu juga dapat menjembatani kemampuan guru dan siswa untuk menjadikan informasi
dan teknologi, dan kesiapan materi bahan ajar. Lama belajar dan mengajar
rata-rata guru dan siswa juga masih harus dianalisis secara saksama mengingat
tiap-tiap negara menerapkan sistem yang berbeda dalam mengelola kebijakan
pendidikan mereka.
Untuk
kasus Indonesia, jelas masalah-masalah di atas masih menjadi isu sentral yang
tidak mudah diselesaikan. Karut-marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi
daerah jelas menjadi salah satu kendala yang sangat akut untuk mengubah benang
kusut pendidikan di Tanah Air. Bukan hanya kusut, dunia pendidikan juga menjadi
basah karena masa depan anak-anak selalu dipertaruhkan oleh kebodohon sesaat
dan sesat dari para politikus kita yang senang mengumbar isu-isu pendidikan
untuk kepentingan politik praktis semata.
Temuan
kunci
Beberapa
temuan kunci proses pendidikan sepanjang 2015 boleh jadi akan mengangkat
optimisme kita untuk menyongsong 2016. Dalam hal pencapaian pendidikan,
ratarata lebih dari 85% anak-anak muda kita lulus sekolah menengah pertama.
Karena itu, kebijakan wajib belajar 12 tahun perlu terus diperhatikan. Ini
artinya belanja pendidikan kita untuk tingkat dasar dan menengah setidaknya
harus terus diseimbangkan dengan angka pertumbuhan usia anak. Jika dikaitkan
dengan angka pertumbuhan pre-school program, jelas akan lebih banyak
lagi dana yang dibutuhkan mengingat angka lembaga-lembaga penyelenggara PAUD
tumbuh sangat fantastis di Indonesia.
Temuan
kunci lainnya berkaitan dengan kebijakan pendidikan sepanjang 2015 ialah tidak
dijadikannya UN sebagai basis kelulusan siswa meskipun tetap saja kebijakan itu
perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, pada praktiknya, belum tentu
kebijakan itu serta-merta melahirkan dan menumbuhkan kualitas pendidikan yang
lebih baik.
Sebagaimana
dikemukakan Robert Linn (2001), pola penilaian eksternal jenis UN mengandung
risiko terhadap berbagai bentuk kecurangan dan malapraktik yang sering kali
sulit dikontrol karena harus melibatkan banyak pihak yang mungkin tidak
memiliki hubungan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu,
juga disebabkan siswa sebelum mengikuti UN harus mengikuti berbagai pelatihan
soal, drilling soal. Jadi, kualitas yang diperoleh kurang hakiki. Angka
perolehan UN pasti akan meningkat, tetapi pemahaman siswa terhadap konsep dan
kemampuan berpikir belum tentu berubah lebih baik. Karena itu, kebijakan tidak
menjadikan UN sebagai basis kelulusan diharapkan akan sedikit menambah kualitas
proses belajar yang lebih baik.
Optimisme
itu harus diimbangi dengan cara memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada
tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah.
Pendekatan model itu biasanya kurang diminati para birokrasi pendidikan karena
dinilai akan sangat melelahkan. Pendekatan itu bukan hanya mensyaratkan
kompetensi dan profesionalitas kerja, melainkan lebih dari itu. Ia membutuhkan
keikhlasan, komitmen, ketekunan, dan kesabar an serta tanggung jawab penuh dari
para pengelola dan pelaku pendidikan. Pendekatan itu dinilai lebih
konsepsional, terukur, akuntabel, dan perubahan yang dihasilkan akan lebih
menyeluruh dan berkesinambungan. Pendekatan itu umumnya kurang disukai
birokrat, politikus, dan komunitas pendidikan, terutama bagi mereka yang sudah
terbiasa dengan pola kerja serbainstan.
Mengingat
begitu strategisnya kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki
kualitas pembelajaran pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan
secara luas, seharusnya para pengelola sekolah, termasuk pimpinan, pengawas,
dan guru, memiliki konsep kerja dengan langkah yang jelas, terukur, dan
akuntabel dalam melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka.
Dalam konteks ini, seharusnya konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dan K-13 terus dimatangkan dalam sebuah proses dan skema yang jelas dan
disepakati semua unsur dalam komunitas sekolah.
Riset
pendidikan
Membangun
optimisme jelas membutuhkan banyak data yang akurat. Karena itu, dibutuhkan
riset-riset pendidikan yang lebih komprehensif berdasarkan unit analisis yang
tepat. Tidak ada kata lain selain menjadikan sekolah sebagai basis dan unit
analisis riset tentang kebijakan pendidikan. Rencana Dirjen Dikdasmen untuk
membuat sekolah percontohan nasional perlu dikaji secara serius dan relevan
untuk dilaksanakan jika basisnya ialah kebutuhan sekolah. Membuat sebanyak
mungkin indikator yang relevan untuk mengukur kualitas dan akuntabilitas
menajemen sekolah itu penting. Sebagai sebuah komunitas, menjadikan sekolah
sebagai basis riset kependidikan ialah imperatif.
Minimnya
riset-riset kependidikan sebenarnya sejalan dengan minimnya tradisi ilmiah di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memiliki Litbang, tapi
banyak hasil riset mereka yang kurang relevan dengan kebijakan yang akan
diambil dan dijalankan. Minimnya tradisi ilmiah dalam riset kependidikan yang
masih terbelenggu pada dikotomi antara teori (ilmu) dan praktik; antara das
sain dan das solen. Padahal, dari sudut sosiologi, antara aspek teoretis
dan praktik pada hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara
teori (ilmu) dan praktik.
Pemisahan
antara teori (ilmu) dan praktik, menurut Mohammaed Arkoun, sebenarnya merupakan
sisa-sisa model Descartes, yang menyebabkan tujuan praktis cenderung hilang.
Para ahli pendidikan kita kebanyakan hanya berpikir meluaskan pengetahuan
tertentu tanpa memikirkan, baik teoretitasi maupun renungan metodologis, atau
apalagi memikirkan kegunaan pengetahuan yang terhimpun dari aspek aplikatif di
sekolah.
Dalam
rangka membangun optimisme pendidikan kita ke depan, sudah saatnya setiap
sekolah dilengkapi sebuah sistem manajemen informasi sekolah, yang mengharuskan
setiap guru dan kepala sekolah terus belajar dan menulis sehingga data yang
terjadi di sekolah dapat terus tercatat sebagai bagian dari upaya menumbuhkan
tradisi riset kependidikan.